HAKIKAT TEOLOGI AL-MA’UN
Surat al-Maun merupakan surat ke 17 yang terdiri atas 7 ayat
dan termasuk golongan surat-surat Makkiyah. Surat al-Maun diturunkan sesudah
surat al-Taakatsur yakni surat ke 16 dan sebelum surat al-Kafirun yakni surat
ke 18. Nama al-Maun diambil dari kata al Maun yang terdapat pada akhir ayat.
Secara etimologi, al-Maun berarti banyak harta, berguna dan bermanfaat,
kebaikan dan ketaatan, dan zakat. Menurut Muhammad Asad kata “al-Ma’un”
berdasarkan tafsir klasik dapat dipahami sebagai hal-hal kecil yang diperlukan
orang dalam penggunaan sehari-hari, perbuatan kebaikan berupa pemberian bantuan
kepada sesama manusia dalam hal-hal kecil. Dalam maknanya yang lebih luas, kata
al-Maun berarti “bantuan” atau “pertolongan” dalam setiap ,kesulitan.
Surat ini
berdasarkan Asbabun Nuzulnya sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mudzir
berkenaan dengan orang-orang munafik yang memamerkan shalat kepada orang yang
beriman. Mereka melakukan shalat dengan riya’ dan meninggalkan apabila tidak
ada yang melihatnya, serta menolak memberikan bantuan kepada orang miskin dan
anak yatim.
Surat al-Maun berisi empat hal pokok, yakni :
- Perintah berbuat kebaikan kepada sesama manusia. Terutama kepada anak-anak yatim dan fakir miskin yang merupakan kelompok orang-orang yang tertindas (mustadh’afin).
- Jangan lupa atau lalai mendirikan shalat.
- Jangan riya’ (pamer) dalam beribadah.
- Jangan kikir (pelit) untuk beramal dan berbagi dengan sesama.
keempat hal pokok ini merupakan sifat orang-orang kafir
Quraisy dan orang-orang munafik. Dimana mereka cenderung bermegah-megahan dan
berfoya-foya dengan harta benda, lupa dengan ibadah karena sibuk mencari harta
semata, suka memamerkan kebaikan kepada orang lain atau tidak ikhlas dalam
beribadah, dan tidak mau berbagi dengan fakir miskin. Itulah kenapa kaum
muslimin diperintahkan menjauhi keempat perbuatan tidak baik tersebut.
Pelanggaran terhadap keempat larangan tersebut disebut sebagai pendusta agama
dan menutup hati kita atas kebenaran dan ketundukan semata karena Allah padahal
sebelumnya telah menyatakan iman dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah.
Dalam
konteks Muhammadiyah, surat al-Maun memiliki arti yang sangat penting sebab
menjadi landasan dasar dan spirit bagi lahirnya gerakan dakwah Muhammadiyah
dengan berbagai amal sosialnya berupa rumah sakit, panti asuhan, panti jompo,
rumah sakit, lembaga pendidikan dan lainnya. Berdasarkan sejarah awal
Muhammadiyah tercatat kisah mengenai pengajian surat al-Maun dan tafsir
pengalamannya.
Model
pembelajaran al-Qur’an sesungguhnya merupakan metode pengajaran yang biasa
diberikan oleh K.H Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya. Di dalam pokok pikiran
dan ajaran K.H Ahmad Dahlan disebutkan tentang lima jalan dalam memahami
al-Qur’an, yaitu :
- Mengenai artinya.
- Memahami tafsir dan maksudnya.
- Jika mendapatkan larangan dalam al-Qur’an bertanyalah kepada diri sendiri. Apakah larangan tersebut sudah ditinggalkan.
- Jika mendapat amar atau perintah perbuatan dalam, al-Qur’an bertanyalah kepada diri sendiri. Apakah amar atau perintah tersebut sudah diamalkan.
- Jika amar atau perintah tersebut belum diamalkan jangan membaca ayat yang lain.
Kyai Ahmad
Dahlan menafsirkan surat al-Maun ataupun surat-surat al-Qur’an
lainnya tidak berdasarkan pemahaman normatif tekstual semata, melainkan Kyai
berani keluar dari mainstream pemikiran demi pencapaian tujuan dakwah
Islam yang beliau cita-citakan dalam bentuk tafsir aksi atau praksis sosial.
Kyai Ahmad Dahlan memiliki pemahaman teologis yang dalam bukan hanya dalam akal
pikirnya, melainkan paham teologi itu harus dipraksiskan dalam amal nyata (aksi
sosial) sesuai kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat (umat). Kondisi ini bisa
dimengerti jika melihat bahwa Kyai sebagai seorang priyayi Jawa memiliki sifat
dan sikap (etos) welas asih sebagai kultur dari etika Jawa. Dr. Soetomo
seorang dokter priyayi Jawa tertarik dan terlibat aktif dalam Muhammadiyah,
tidak bisa dipungkiri karena melihat kewelas-asihan Kyai. Dalam sambutan
pembukaan rumah sakit PKU Muhammadiyah Surabaya di tahun 1924, Dokter Soetomo
menyakini bahwa etika welas asih itu sebagai antitesis etika
Darwinisme (struggle for the fightest) yang menjadi kekuatan gerakan
Muhammadiyah. Kenyataannya Kyai mendirikan rumah sakit, bekerjasama dengan
dokter-dokter berkebangsaan Belanda dan beragama Nasrani yang bekerja secara
sukarela. Kesediaan dokter-dokter Belanda bekerja di rumah sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta dan Surabaya tanpa dibayar, bukan bagian dari politik
kolonial, melainkan didasari komitmen kemanusiaan dokter Belanda ketika melihat
kegiatan kesehatan yang dilakukan Kyai Ahmad Dahlan itu diperuntukkan bagi
kaum dhuafa’ dan fakir miskin secara cuma-cuma. Nilai profetik
kemanusiaan dalam etika welas asih lah yang menjadi titik temu
pandangan tersebut.
Pemahaman
Kyai Ahmad Dahlan dalam pengajaran surat al-Maun semakna dengan
penafsiran beliau mengenai Q.S. al-Taubah/9: 34-35 yang memiliki penekanan
berbeda dengan ulama-ulama lain. Kyai Ahmad Dahlan memahami al-Taubah/9: 34-35
bukan hanya dasar kewajiban zakat, menurut Kyai ayat itu tidak saja mengancam
orang yang tidak mengeluarkan zakat, akan tetapi juga bagi siapa saja yang
menyimpan harta hanya untuk kepentingan diri sendiri dan tidak mendermakan di
jalan Allah. Lebih lanjut Kyai juga mengajarkan “carilah sekuat tenaga
harta yang halal, jangan malas. Setelah mendapat, pakailah untuk kepentingan
dirimu sendiri dan anak istrimu secukupnya, jangan terlalu mewah. Kelebihannya
didermakan di jalan Allah”.
Pemahaman
Kyai Ahmad Dahlan yang demikian semakna dengan pandangan beliau mengenai konsep
beragama. Baginya beragama itu adalah beramal, artinya berkarya dan berbuat
sesuatu, melakukan tindakan sesuai dengan isi pedoman al-Qur’an dan Sunnah.
Orang yang beragama ialah orang yang menghadapkan jiwanya dan hidupnya hanya
kepada Allah SWT yang dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan seperti rela
berkurban baik harta benda miliknya dan dirinya, serta bekerja dalam
kehidupannya untuk Allah. Itu pula mengapa Kyai menyebut bahwa rakyat kecil,
kaum fakir miskin, para hartawan dan para intelektual adalah medan dan sasaran
gerakan dakwah Muhammadiyah.
Secara lebih
mendalam dapat kita telusuri pemikiran penting Kyai lainnya yang
didokumentasikan dengan judul “Tali Pengikat Hidup Manusia” Almanak
1923 yang sudah diterjemahkan dengan judul “The Humanity of Human
Life” oleh Charles Kurzman (2002) dalam bukunya “Modernis Islam: A
Sourcebook”. Kemudian tulisan Kyai “Peringatan bagi Setiap Muslimin
(Muhammadiyyin)”, prasaran Muhammadiyah dalam Kongres Islam di Cirebon
tahun 1921. Dalam tulisan tersebut Kyai menekankan bahwa: “…kebanyakan
pemimpin belum menuju baik dan enaknya segala manusia, baru memerlukan kaumnya
(golongannya) sendiri. Lebih-lebih ada yang hanya memerlukan badannya sendiri
saja, kaumnya pun tiada diperdulikan. Jika badannya sendiri sudah mendapat
kesenangan, pada perasaannya sudah berpahala, sudah dapat sampai maksudnya…”.
Selanjutnya
Kyai juga menegaskan: “Hidupnya akal yang sempurna, dan agar supaya dapat
tetap namanya akal, itu harus ada kumpulnya perkara enam… (antara
lain). Pertama, memilih perkara apa-apa harus dengan belas kasihan.
Manusia tidak sampai pada keutamaan, bila tidak dengan belas kasihannya itu.
Segala perbuatannya bisanya kejadian melainkan dengan kejadiannya kesenangan,
yang akhirnya lalu bosan dan terus sia-sia. Kedua, harus bersungguh-sungguh
akan mencari. Sebab sembarang yang dimaksudkan kepada keutamaan dunia dan
akhirat, itu tidak sekali-kali dapat tercapai bila tidak dicari dengan daya
upaya ikhtiar, dengan pembelaan harta benda, kekuataan dan fikir”.
Pemahaman
tafsir al-Maun tersebut mengkristal dalam bentuk teologi sosial
Muhammadiyah dan tauhid sosial. Dari tafsir ke teologi kemudian
kepada fikih al-Maun. Amanat Muktamar Muhammadiyah ke 45 di Malang tahun
2005 yang meminta Majelis Tarjih menyusun konsep
Teologi al-Maun diterima dan disahkan menjadi keputusan Munas Tarjih
ke 27 di Malang pada tanggal 3 April 2010 dengan perubahan nama
menjadi Fikih al-Maun. Mungkin debatable penamaan tersebut
mengingat istilah fikih yang terkesan kaku dan formil. Tetapi yang terpenting
substansi utama konsepsi Fikih al-Maun tidak bergeser dari pemikiran
Kyai Ahmad Dahlan ataupun amanat Muktamar, yakni dengan melihat kenyataan bahwa
umat Islam sampai sekarang masih mengalami ketertinggalan peradaban dan banyak
di antara warganya yang menjadi penyandang masalah sosial. Penyelesaian masalah
ini secara mendasar harus diawali dari perumusan sistem ajaran yang memadai
sebagai basis teologi (tauhid sosial dan teologi al-Maun). Muhammadiyah
sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar bertanggung jawab
ambil bagian dalam penyelesaian masalah tersebut dengan menjabarkan tafsir
surat al-Maun ke dalam keyakinan teologis dan amal (praksis) sosial.
Secara umum Munas Tarjih ke-27 menyepakati bahwa sistematika Fikih al
Maun ada dalam “Kerangka Amal al-Ma’un” yang berupa penguatan
dan pemberdayaan kekayaan fisik, moral, spiritual, ekonomi, sosial dan
lingkungan. Kemudian “Pilar Amal al-Ma’un” terdiri dari rangkaian
berkhidmat kepada yang yatim, berkhitmat kepada yang miskin, mewujudkan
nilai-nilai shalat, memurnikan niat, menjauhi riya’, dan membangun
kemitraan yang berdayaguna. Sementara “Bangunan Amal al-Ma’un” yang
disepakati adalah untuk kesejahteraan individu yang bermartabat, kesejahteraan
keluarga (Keluarga Sakinah), kesejahteraan masyarakat yang berjiwa besar,
kesejahteraan bangsa dan negara.
Dengan
demikian, pemahaman tentang Tafsir
al-Maun, Teologi al-Maun ataupun Fikih al-Maun di atas
tidak boleh berhenti hanya pada konsepsi pemikiran belaka, melainkan harus
dapat dijabarkan dalam realisasi amal sosial yang terus dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan umat dan perkembangan zamannya. Dengan begitu, baik penafsiran
ayat al-Qur’an, penghayatannya dalam hati sebagai keyakinan hidup (teologi)
maupun pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari (fikih) sesuai dengan
pemikiran Kiai Ahmad Dahlan yang menekankan “siapa menanam akan
mengetam”, dan “pemimpin itu sedikit bicara banyak
bekerja”. Penafsiran yang bermuara pada hasil amal sosial berarti pula
terus menumbuhkan gerak dakwah Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan gerakan
sosial kemasyarakatan yang bercita-cita untuk terwujudnya masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya, yaitu masyarakat utama adil makmur yang diridhai Allah
Subhanahu Wata’ala (Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur).
Tugas ini untuk memenuhi:
Mata Kuliah : Pengembangan Pembelajaran PKN di SD
Dosen : Dirgantara Wicaksono, M.Pd
Tugas ini untuk memenuhi:
Mata Kuliah : Pengembangan Pembelajaran PKN di SD
Dosen : Dirgantara Wicaksono, M.Pd
Trimakasih sangat bermanfaat..
BalasHapus