Rabu, 03 Juni 2015

Teologi Surat Al-Ma'un

HAKIKAT TEOLOGI AL-MA’UN
Surat al-Maun merupakan surat ke 17 yang terdiri atas 7 ayat dan termasuk golongan surat-surat Makkiyah. Surat al-Maun diturunkan sesudah surat al-Taakatsur yakni surat ke 16 dan sebelum surat al-Kafirun yakni surat ke 18. Nama al-Maun diambil dari kata al Maun yang terdapat pada akhir ayat. Secara etimologi, al-Maun berarti banyak harta, berguna dan bermanfaat, kebaikan dan ketaatan, dan zakat. Menurut Muhammad Asad kata “al-Ma’un” berdasarkan tafsir klasik dapat dipahami sebagai hal-hal kecil yang diperlukan orang dalam penggunaan sehari-hari, perbuatan kebaikan berupa pemberian bantuan kepada sesama manusia dalam hal-hal kecil. Dalam maknanya yang lebih luas, kata al-Maun berarti “bantuan” atau “pertolongan” dalam setiap ,kesulitan.
       Surat ini berdasarkan Asbabun Nuzulnya sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mudzir berkenaan dengan orang-orang munafik yang memamerkan shalat kepada orang yang beriman. Mereka melakukan shalat dengan riya’ dan meninggalkan apabila tidak ada yang melihatnya, serta menolak memberikan bantuan kepada orang miskin dan anak yatim.
Surat al-Maun berisi empat hal pokok, yakni :
  • Perintah berbuat kebaikan kepada sesama manusia. Terutama kepada anak-anak yatim dan fakir miskin yang merupakan kelompok orang-orang yang tertindas (mustadh’afin).
  • Jangan lupa atau lalai mendirikan shalat.
  • Jangan riya’ (pamer) dalam beribadah.
  • Jangan kikir (pelit) untuk beramal dan berbagi dengan sesama.
keempat hal pokok ini merupakan sifat orang-orang kafir Quraisy dan orang-orang munafik. Dimana mereka cenderung bermegah-megahan dan berfoya-foya dengan harta benda, lupa dengan ibadah karena sibuk mencari harta semata, suka memamerkan kebaikan kepada orang lain atau tidak ikhlas dalam beribadah, dan tidak mau berbagi dengan fakir miskin. Itulah kenapa kaum muslimin diperintahkan menjauhi keempat perbuatan tidak baik tersebut. Pelanggaran terhadap keempat larangan tersebut disebut sebagai pendusta agama dan menutup hati kita atas kebenaran dan ketundukan semata karena Allah padahal sebelumnya telah menyatakan iman dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah.
       Dalam konteks Muhammadiyah, surat al-Maun memiliki arti yang sangat penting sebab menjadi landasan dasar dan spirit bagi lahirnya gerakan dakwah Muhammadiyah dengan berbagai amal sosialnya berupa rumah sakit, panti asuhan, panti jompo, rumah sakit, lembaga pendidikan dan lainnya. Berdasarkan sejarah awal Muhammadiyah tercatat kisah mengenai pengajian surat al-Maun dan tafsir pengalamannya.
     Model pembelajaran al-Qur’an sesungguhnya merupakan metode pengajaran yang biasa diberikan oleh K.H Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya. Di dalam pokok pikiran dan ajaran K.H Ahmad Dahlan disebutkan tentang lima jalan dalam memahami al-Qur’an, yaitu :
  1.  Mengenai artinya.
  2. Memahami tafsir dan maksudnya.
  3. Jika mendapatkan larangan dalam al-Qur’an bertanyalah kepada diri sendiri. Apakah larangan tersebut sudah ditinggalkan.
  4. Jika mendapat amar atau perintah perbuatan dalam, al-Qur’an bertanyalah kepada diri sendiri. Apakah amar atau perintah tersebut sudah diamalkan.
  5. Jika amar atau perintah tersebut belum diamalkan jangan membaca ayat yang lain.
Kyai Ahmad Dahlan menafsirkan surat al-Maun ataupun surat-surat al-Qur’an lainnya tidak berdasarkan pemahaman normatif tekstual semata, melainkan Kyai berani keluar dari mainstream pemikiran demi pencapaian tujuan dakwah Islam yang beliau cita-citakan dalam bentuk tafsir aksi atau praksis sosial. Kyai Ahmad Dahlan memiliki pemahaman teologis yang dalam bukan hanya dalam akal pikirnya, melainkan paham teologi itu harus dipraksiskan dalam amal nyata (aksi sosial) sesuai kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat (umat). Kondisi ini bisa dimengerti jika melihat bahwa Kyai sebagai seorang priyayi Jawa memiliki sifat dan sikap (etos) welas asih sebagai kultur dari etika Jawa. Dr. Soetomo seorang dokter priyayi Jawa tertarik dan terlibat aktif dalam Muhammadiyah, tidak bisa dipungkiri karena melihat kewelas-asihan Kyai. Dalam sambutan pembukaan rumah sakit PKU Muhammadiyah Surabaya di tahun 1924, Dokter Soetomo menyakini bahwa etika welas asih itu sebagai antitesis etika Darwinisme (struggle for the fightest) yang menjadi kekuatan gerakan Muhammadiyah. Kenyataannya Kyai mendirikan rumah sakit, bekerjasama dengan dokter-dokter berkebangsaan Belanda dan beragama Nasrani yang bekerja secara sukarela. Kesediaan dokter-dokter Belanda bekerja di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan Surabaya tanpa dibayar, bukan bagian dari politik kolonial, melainkan didasari komitmen kemanusiaan dokter Belanda ketika melihat kegiatan kesehatan yang dilakukan Kyai Ahmad Dahlan itu diperuntukkan bagi kaum dhuafa’ dan fakir miskin secara cuma-cuma. Nilai profetik kemanusiaan dalam etika welas asih lah yang menjadi titik temu pandangan tersebut.
Pemahaman Kyai Ahmad Dahlan dalam pengajaran surat al-Maun semakna dengan penafsiran beliau mengenai Q.S. al-Taubah/9: 34-35 yang memiliki penekanan berbeda dengan ulama-ulama lain. Kyai Ahmad Dahlan memahami al-Taubah/9: 34-35 bukan hanya dasar kewajiban zakat, menurut Kyai ayat itu tidak saja mengancam orang yang tidak mengeluarkan zakat, akan tetapi juga bagi siapa saja yang menyimpan harta hanya untuk kepentingan diri sendiri dan tidak mendermakan di jalan Allah. Lebih lanjut Kyai juga mengajarkan “carilah sekuat tenaga harta yang halal, jangan malas. Setelah mendapat, pakailah untuk kepentingan dirimu sendiri dan anak istrimu secukupnya, jangan terlalu mewah. Kelebihannya didermakan di jalan Allah”.
Pemahaman Kyai Ahmad Dahlan yang demikian semakna dengan pandangan beliau mengenai konsep beragama. Baginya beragama itu adalah beramal, artinya berkarya dan berbuat sesuatu, melakukan tindakan sesuai dengan isi pedoman al-Qur’an dan Sunnah. Orang yang beragama ialah orang yang menghadapkan jiwanya dan hidupnya hanya kepada Allah SWT yang dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan seperti rela berkurban baik harta benda miliknya dan dirinya, serta bekerja dalam kehidupannya untuk Allah. Itu pula mengapa Kyai menyebut bahwa rakyat kecil, kaum fakir miskin, para hartawan dan para intelektual adalah medan dan sasaran gerakan dakwah Muhammadiyah.
Secara lebih mendalam dapat kita telusuri pemikiran penting Kyai lainnya yang didokumentasikan dengan judul “Tali Pengikat Hidup Manusia” Almanak 1923 yang sudah diterjemahkan dengan judul “The Humanity of Human Life” oleh Charles Kurzman (2002) dalam bukunya “Modernis Islam: A Sourcebook”. Kemudian tulisan Kyai “Peringatan bagi Setiap Muslimin (Muhammadiyyin)”, prasaran Muhammadiyah dalam Kongres Islam di Cirebon tahun 1921. Dalam tulisan tersebut Kyai menekankan bahwa: “…kebanyakan pemimpin belum menuju baik dan enaknya segala manusia, baru memerlukan kaumnya (golongannya) sendiri. Lebih-lebih ada yang hanya memerlukan badannya sendiri saja, kaumnya pun tiada diperdulikan. Jika badannya sendiri sudah mendapat kesenangan, pada perasaannya sudah berpahala, sudah dapat sampai maksudnya…”.
Selanjutnya Kyai juga menegaskan: “Hidupnya akal yang sempurna, dan agar supaya dapat tetap namanya akal, itu harus ada kumpulnya perkara enam… (antara lain). Pertama, memilih perkara apa-apa harus dengan belas kasihan. Manusia tidak sampai pada keutamaan, bila tidak dengan belas kasihannya itu. Segala perbuatannya bisanya kejadian melainkan dengan kejadiannya kesenangan, yang akhirnya lalu bosan dan terus sia-sia. Kedua, harus bersungguh-sungguh akan mencari. Sebab sembarang yang dimaksudkan kepada keutamaan dunia dan akhirat, itu tidak sekali-kali dapat tercapai bila tidak dicari dengan daya upaya ikhtiar, dengan pembelaan harta benda, kekuataan dan fikir”.
Pemahaman tafsir al-Maun tersebut mengkristal dalam bentuk teologi sosial Muhammadiyah dan tauhid sosial. Dari tafsir ke teologi kemudian kepada fikih al-Maun. Amanat Muktamar Muhammadiyah ke 45 di Malang tahun 2005 yang meminta Majelis Tarjih menyusun konsep Teologi al-Maun diterima dan disahkan menjadi keputusan Munas Tarjih ke 27 di Malang pada tanggal 3 April 2010 dengan perubahan nama menjadi Fikih al-Maun. Mungkin debatable penamaan tersebut mengingat istilah fikih yang terkesan kaku dan formil. Tetapi yang terpenting substansi utama konsepsi Fikih al-Maun tidak bergeser dari pemikiran Kyai Ahmad Dahlan ataupun amanat Muktamar, yakni dengan melihat kenyataan bahwa umat Islam sampai sekarang masih mengalami ketertinggalan peradaban dan banyak di antara warganya yang menjadi penyandang masalah sosial. Penyelesaian masalah ini secara mendasar harus diawali dari perumusan sistem ajaran yang memadai sebagai basis teologi (tauhid sosial dan teologi al-Maun). Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar bertanggung jawab ambil bagian dalam penyelesaian masalah tersebut dengan menjabarkan tafsir surat al-Maun ke dalam keyakinan teologis dan amal (praksis) sosial. Secara umum Munas Tarjih ke-27 menyepakati bahwa sistematika Fikih al Maun ada dalam “Kerangka Amal al-Ma’un” yang berupa penguatan dan pemberdayaan kekayaan fisik, moral, spiritual, ekonomi, sosial dan lingkungan. Kemudian “Pilar Amal al-Ma’un” terdiri dari rangkaian berkhidmat kepada yang yatim, berkhitmat kepada yang miskin, mewujudkan nilai-nilai shalat, memurnikan niat, menjauhi riya’, dan membangun kemitraan yang berdayaguna. Sementara “Bangunan Amal al-Ma’un” yang disepakati adalah untuk kesejahteraan individu yang bermartabat, kesejahteraan keluarga (Keluarga Sakinah), kesejahteraan masyarakat yang berjiwa besar, kesejahteraan bangsa dan negara.
Dengan demikian, pemahaman tentang Tafsir al-Maun, Teologi al-Maun ataupun Fikih al-Maun di atas tidak boleh berhenti hanya pada konsepsi pemikiran belaka, melainkan harus dapat dijabarkan dalam realisasi amal sosial yang terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan umat dan perkembangan zamannya. Dengan begitu, baik penafsiran ayat al-Qur’an, penghayatannya dalam hati sebagai keyakinan hidup (teologi) maupun pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari (fikih) sesuai dengan pemikiran Kiai Ahmad Dahlan yang menekankan “siapa menanam akan mengetam”, dan “pemimpin itu sedikit bicara banyak bekerja”. Penafsiran yang bermuara pada hasil amal sosial berarti pula terus menumbuhkan gerak dakwah Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan gerakan sosial kemasyarakatan yang bercita-cita untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yaitu masyarakat utama adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu Wata’ala (Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur).

      Tugas ini untuk memenuhi:
Mata Kuliah : Pengembangan Pembelajaran PKN di SD
Dosen : Dirgantara Wicaksono, M.Pd

1 komentar: